Ilustrasi, sumber: gettyimages.com |
Aku tidak menyangka akan bertemu Awie lagi. Teman masa kanak-kanakku itu tinggal di wilayah Kajhu, Aceh Besar. Salah satu daerah yang terparah akibat hantaman tsunami pada 26 Desember 2004. Daerah yang sebelumnya terbilang padat itu musnah total. Tidak ada satu pemukiman pun yang tersisa. Hanya hamparan kosong sejauh mata memandang, menyisakan beberapa rumah setengah hancur dan mesjid yang tegak berdiri.
Menghirup kopinya perlahan-lahan, Awie kulihat lebih banyak termenung. Ingin kutanyakan nasib keluarganya, tapi aku enggan untuk mengorek kembali kepedihannya.
“ Keluargaku tidak ada yang selamat, Dil “
Aku hanya mampu menggerakkan bibirku, berharap membentuk senyuman yang kurang lebih berarti, Aku-Turut-Bersedih-Tabahlah.
“Beungoh nyan lon pikē ka troh akhee donya …”
Awie terdiam cukup lama. Namun kemudian ia melihat pin FLP yang ku sematkan di ranselku. Senyumnya merekah.
“ Dil, pernah jumpa bidadari?” Awie menatapku dengan muka yang sekarang begitu cerah. Entah bagaimana tapi firasatku mengatakan aku akan mendengar sebuah kisah yang luar biasa.
Awie menghirup kopinya dengan lebih bersemangat, lalu kisah itu mengalir.
* * *
Kedua orang tua Awie sudah meninggal 2 tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Sehingga ketika ia menikahi Mala, berbeda dengan adat yang lazim di Aceh di mana menantu laki-laki tinggal di tempat pihak perempuan, Awie justru memboyong Mala dan orang tuanya ke rumah Awie.
Hidup mereka damai, hingga pagi itu. 26 desember 2004, minggu pagi yang cerah.
Awie menarik tangan Mala, istrinya. Berdua mereka berjuang menjauh dari kejaran air yang telah menghancurkan rumah mereka. Menggulung kedua orang tua Mala dalam pusaran yang hitam berlumpur.
Suara derak kayu patah, tembok yang terbongkar, pekik jerit mengiringi langkah mereka. Namun meski telah berusaha lebih kuat dari yang pernah dijalani mereka terhempas juga dalam gulungan air, yang bagaikan mahluk hidup yang sedang murka.
Berjuang keras dalam gulungan air, Awie tidak melepaskan tangan Mala.
Dan entah bagaimana mereka tersangkut pada sudut tembok sebuah rumah. Sudut yang terbentuk menimbulkan ruang kosong seluas setengah meter, tempat Awie berlindung berusaha menarik Mala yang masih didalam amukan air.
Awie menggenggam tangan Mala sekuat-kuatnya. Bertarung melawan derasnya air yang seolah juga menarik Mala. Pegangan Awie dan tarikan air membuat Mala seperti terbang di air. Separuh tubuh Mala terbenam, berulang kali terbentur kayu bahkan juga mayat yang hanyut.
Awie semakin kehilangan tenaganya, perlahan badannya juga semakin tertarik keluar dari ruang kosong disudut tembok itu. Meski ia mencoba terus bertahan tapi ia semakin tertarik menuju arus air yang kian menggila.
Lalu mereka bertatapan …
Mala menatap Awie dengan pandangan yang sangat teduh, tersirat ribuan kata sayang didalamnya. Begitu penuh kasih, begitu damai. Senyumnya merekah lembut.
“ Abang, maafkan salah-salah Mala.”
Awie merasakan perih di dadanya. Meski tak terucap sepertinya saat perpisahan akan tiba. Awie tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Air mata mulai mengalir, membasahi pipinya yang berlumuran lumpur.
“Mala …”
“Abang, mungkin selama ini ada salah Mala, ada juga salah Abang. Maafkan semuanya ya, Bang? Seperti Mala juga maafin semuanya. Selama ini Abang sudah menyayangi Mala, Mala senang Bang”
Butir-butir air mata kian membanjir, bercampur dengan darah yang mengalir dari pelipisnya. Awie merasakan rasa sayangnya pada istrinya itu memenuhi seluruh tubuhnya.
“ Mala, Abang nggak akan ngelepasin ta…”
“Jangan begitu Bang. Abang mungkin masih punya kesempatan, jangan mendahului kehendak Allah. Tolong ikhlaskan Mala.”
Awie tak sanggup mengucap apapun ketika Mala mengingatkannya untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah bila ia berhasil bertahan, dan jangan menyesali atau menyalahkan apa yang telah terjadi. Mala mengucapkan semuanya dengan senyum yang tak lekang dari wajahnya.
“Abang, Mala lebih dulu pulang. Maafkan Mala, enggak bisa lebih lama mendampingi Abang.”
Di iringi ucapan syahadat Mala melepaskan pegangan Awie. Matanya menatap dengan kelembutan yang paling lembut yang pernah dilihat Awie selama mereka mengarungi rumah tangga. Senyumnya begitu lepas, pasrah tanpa beban. Lalu hilang dalam arus yang hitam pekat.
* * *
Awie menatapku dengan senyuman yang penuh kebanggaan, meski kulihat ada setitik bening menghiasi sudut matanya.
“Dil, aku sudah pernah melihat bidadari”
Aku tak akan melupakan senyum Awie saat mengatakannya. Senyum yang begitu sarat dengan kerinduan, namun juga penuh kasih sayang.
Kamu benar, Wie. Kamu sudah melihat bidadari.
Note:
Cerita ini seperti yang disampaikan oleh Awie, ketika kami bertemu di Solong Coffe Shop. saya menuliskannya pertama sekali sekitar thn. 2005--pastinya ga ingat lagi. Lalu disusun ulang ketika FLP Aceh ditawari untk menuliskan kisah2 seputar tsunami.
Maaf, cara penceritaannya mungkin tidak bagus :)
saya sekarang tidak pernah berjumpa lagi dengan awie.
bukan hanya Awie, tapi juga beberapa 'pelaku sejarah' yg menceritakan kisah mereka saat tsunami, seperti: Harris & Rahma (Rumah baru De'Bit), Achmad Muhajir (87 kilogram, 2 kilometer dan Menikahlah Denganku), dan beberapa lainnya.
Tapi bagaimanapun saya selalu berharap mereka mendapat limpahan cintaNya
Post a Comment